Selasa, 15 Maret 2011

FF oneshoot "LOVE 3x24 hours"

Cast :
- Yong Junhyung
- Song Ji Eun
- Lee Jin Ki
- Boa
- Sooyoung
- Yoseob
ONE SHOOT FF “LOVE IN 3x24 HOURS”
- Ji Eun’s POV -
Jari jemariku menari-nari di atas selembar kertas putih yang mulai di kotori oleh sebuah design rumah. Cita-citaku memang ingin menjadi seorang arsitektur, impianku … aku ingin kalau suatu hari nanti, aku dan eomma bisa tinggal di tempat yang benar-benar aku design sendiri. Tapi saying, sepertinya itu hanya sebuah angan yang sulit untuk di capai. Jangankan untuk membangun rumah dengan design yang mewah seperti ini, membeli satu rumah mungil dengan 1 kamar pun kami tidak mampu.
Kleerkk .. pintu kamarku terbuka. Ku bergegas menyembunyikan kertas gambar itu di tumpukan buku pelajaran lalu mengambil buku paling atas, membuka, lalu pura-pura membacanya. Eomma berjalan mendekat, lalu menaruh segelas susu di atas meja tanpa berkata apa-apa.
“Eomma ...” panggilku lirih, eomma memandangku.
“Waeyo?” tanya eomma. Ku tatp wajahnya sambil tersenyum manis.
“Anio .. gomawoyo …” Eomma hanya membalas senyumanku tanpa mengucapkan apa-apa. Lalu berjalan ke luar kamar.
Huh .. hampir saja. Aku tak ingin eomma terlalu pusing memikirkan biaya untuk aku kuliah nanti. Kalau eomma tau aku masih sering menggambar seperti ini, ia pasti akan mengusahakan agar aku bisa kuliah mengambil jurusan arsitektur. Tapi itu semua tidak aku harapkan karena aku tau, ia sudah berusaha keras untuk ini, hidup seperti ini saja sudah cukup.

Kakiku menelusuri jalanan kota Seoul yang ramai dengan pejalan kaki. Jam menunjukan pukul 02.00 KST. Keringat sudah mulai membasahi baju seragam yang aku pakai. Cuaca hari ini begitu cerah, matahari sepertinya masih sangat bersemangat untuk melakukan aktifitasnya di jam segini. Pulang sekolah, waktunya untuk bekerja pikirku.
- End of Ji Eun’s POV -

“Annyeoong ….” sapa Ji Eun pada ibu pemilik took.
“Kau sudah pulang ya? Kebetulan sekali Ahjumma hari ini mau pergi ke Busan untuk menjenguk keponakan, jadi kau yang menjaga took ini sendiri ya. Gwenchana?” jelas Ahjumma.
“Oh ne, gwenchanseumnida ..” ucapku.
“Nanti kalau sudah waktunya tutup, kau titipkan saja kuncinya ke took sebelah. Aku pergi dulu,” kata ahjumma, Ji Eun hanya menunduk, tanda mempersilahkan.

Ji Eun menatap jam tangannya, lalu bergegas membereskan toko, mengganti baju bebasnya dengan seragam sekolah. Ketika ia sedang mengunci pintu, seorang namja berdiri di belakngnya.
“Noona!” panggil namja itu. Ji Eun yang spontan kaget lalu menjatuhkan kunci toko yang ia pegang.
“Aissh ... kau mengagetkanku saja! Enak saja kau panggil aku noona, memangnya aku terlihat lebih tua darimu,” kata Ji Eun jengkel dan langsung membalikkan badannya.
“Noona Annyeooong!!” sapa Jin Ki sambil mengayunkan tangannya.
“Mwo?!? Kau?!? Kenapa disini?” tanya Ji Eun yang kaget melihat adik kelasnya, Jin Ki, yang sebenarnya ia kagumi.
“Wae? Aku disini mau membeli bunga lah, masa mau beli sayur,” lawak Jin Ki yang kemudian seenaknya masuk ke dalam toko.
“Aissh .. jinchana, anak itu!!”
Jin Ki mengamati isi toko, melihat-lihat bunga di sekeliling. Ji Eun mengikutinya dari belakang.
“Aigooo .. ayolaah .. lama sekali kau ini,” pinta Ji Eun.
“Sabar dong noona, aku kan pembeli disini. Pembeli itu adalah raja, jadi harus di hormati, arraseo?” jelas Jin Ki, Ji Eun hanya bisa memandang Jin Ki sinis.
“Oia noona, kau suka biru kan? Dari tadi aku cari bunga mawar biru ko ga ada ya?” tanya Jin Ki.
“Kyaa!! Kau ini ... cari ke ujung dunia pun ga ada mawar yang warnanya biru!” sentak Ji Eun.
“Wah .. berati aku ga jadi beli,” jwab Jin Ki sambil berjalan ke luar.
“Mworago ???” Ji Eun bengong keheranan.
Jin Ki berjalan pelan menyebrangi jalan dan berdiri disana. Ji Eun yang baru saja menitipkan kunci toko di toko sebelah memandang Jin Ki heran.
“Hei! Kau menunggu bis di tempat yang salah!” teriak Ji Eun.
“Aku ga nunggu bis, tapi aku nunggu noona. Ayo cepetan!” teriak Jin Ki balik.

“Rumahmu dimana emang? Ko ngajak pulang bareng?” tanya Ji Eun heran.
“Di Jl. Myeong Dong 145,” jawab Jin Ki sambil tersenyum.
“Ya! Itukan rumah di sebelah rumah noona, sejak kapan kau tinggal disana?” tanya Ji Eun kaget.
“Sejak Appaku membelinya laah. Aku yang minta. Rumah mungil untuk menyendiri hahaha …”
“Maksudnya?”
“Ya itu rumah buat tempat aku kalau lagi gamau di rumah aja noona ... atau kalau aku lagi pengen deket sama noona .. hehe,” jelas Jin Ki.
“Apa sih ..” kata Ji Eun yang pipinya mulai memerah.
“Hahahaha ... noona ge er ... wkwkwk,” ucap Jin Ki tertawa.
“Ih apa sih, noona kan jadi malu,” kata Ji Eun sambil memukul Jin Ki pelan.
“Noona, aku tau ko perasaan noona ke aku,” celetuk Jin Ki.
“Perasaan apa? Nama noona aja kamu belum tentu tau,” kata Ji Eun yang sebenernya kaget mendengarnya.
“Ah .. noona Song Ji Eun kan? Siswa kelas XII-3, hobi mengambar sketsa rumah ga peduli dimana aja noona ada, trus noona pengen banget jadi arsitektur? Suka warna biru, kalau ke sekolah naik sepeda tapi sekarang sepedanya ilang waktu noona belanja di pasar, terus ...,” omongan Jin Ki terputus karna Ji Eun keburu memukul perutnya.
“Kau tau darimana HAH?” tanya Ji Eun.
“Aigo .. noona~ YA! Sakit tau .. ada deh yang penting aku tau semuanya,” jelas Jinki sambil mengusap-usap perutnya. Ji Eun berusaha pergi karena malu, tapi Jin Ki menarik tangannya sehingga ia berhenti berjalan.
“Noona .. saranghae!” ucap Jin Ki pelan, sontak Ji Eun kaget tapi ia hanya terdiam.
“Noona, aku sudah mengagumi noona dari aku pertama kali masuk Tohoshinki High School, Waktu itu aku liat noona yang sedang bersenda gurau di kantin. Aku lihat senyum noona yang manis ... dari situ aku mulai tertarik. Aku seneng banget waktu tau noona masuk tim basket cewe di sekolah, makanya aku ikut eskul itu juga. Aku kaget waktu salah seorang temen noona ngasih tau kalau noona juga kagum sama aku,” jelas Jin Ki.
“Jinki~a, kagum sama cinta itu beda,” kata Ji Eun.
“Noona ... kagum itu tahapan sebelum adanya rasa cinta. Ah noona ini gimana sih,” gerutu Jin Ki. Ji Eun kembali berjalan tanpa menghiraukan Jin Ki, tapi Jin Ki tetap mengikutinya dari belakang.
“Aduh .. aku salah ngomong ya tadi?!?” tanya Jin Ki pada dirinya sendiri.
“Noona jalannya jangan cepet-cepet dong, tunggu aku .. NOONA AWAS!!” Jin Ki berusaha menarik lengan Ji Eun yang akan bertabrakan dengan sebuah mobil, namun naas, Ji Eun tetap terserempet mobil tsb.

“Jinki~a, Eomma! Aku disini! Kenapa kalian ga ngeliat aku!” teriak Ji Eun sedih.
Beberapa dokter dan perawat berusaha melakukan pertolongan pertama. Eomma duduk di depan ruang ICU, menunggu dengan rasa khawatir sambil menangis, Jin Ki berusaha menenangkannya.
“Aigoo ... kenapa aku tidak bisa bersatu dengan tubuhku sendiri padahal jantungku masih berdetak!!” ucap Ji Eun sambil menatap tubuhnya yang terbaring di ruang ICU.

Dua jam berlalu … tapi ia dan tubuhnya masih belum bisa bersatu. Eomma terlihat sedang tertidur pulas di kamar inap RS, sedangkan Jin Ki tertidur di kursi sebelah kasur pasien. Eomma sudah terlihat membaik karena dokter bilang kalau Ji Eun masih hidup, namun ia belum tau kapan Ji Eun akan sadarkan diri karena ia masih koma.
Ji Eun duduk termangu di luar kamar. Ia bingung harus berbuat apa sekarang. Tidak ada yang bisa menolongnya, jangankan menolongnya, melihatnya pun tidak bisa. Ji Eun kembali bangun, ia mencoba menyentuh tembok yang ternyata bisa ia tembus, begitu juga dengan eomma dan Jin Ki yang bisa ia tembus. Kini ia merasa seperti benar-benar mati walapun raganya memang masih hidup.
Ji Eun berjalan menyusuri ruangan di rumah sakit. Tiba-tiba ia melihat seorang namja keluar dari sebuah ruangan dokter. Dan namja itu sempat melirik ke arah Ji Eun sebelum berjalan pergi.
“Ya!” panggil Ji Eun pada namja tersebut. Namja itu berhenti berjalan dan membalikkan badannya.
“Kau memanggilku?” tanya Junhyung. Ji Eun menunda sebentar omongannya saat ada seseorang yang lewat, takut kalau Junhyung di sangka ga waras.
“Kau bisa melihatku?” tanya Ji eun heran.
“Kau ini kenap? Tentu saja aku bisa melihatmu, aku tidak buta!” ucap Junhyung yang kemudian melanjutkan perjalanannya.
“Ya, mengapa kau mengikutiku? Kau ini siapa?” tanya Junhyung heran.
“Nan ... nan ...” *nan:aku*
“Ah sudahlah ..,” Junhyung berusaha masuk ke dalam mobil, tapi Ji Eun kemudian memberanikan diri untuk bicara.
“Aku itu seorang arwah!” teriak Ji Eun.
“Mwo? Haha .. kau ini bercanda ya? Mau mengelabui yang lebih tua?” tanya Junhyung, Ji Eun hanya menggeleng.
“Lain kali jangan bicara yang tidak-tidak!” pinta Junhyung. Ketika sebuah mobil berjalan mendekat, Ji Eun berusaha menabrakan dirinya untuk membuktikan omongannya.
“Awas!!” teriak Junhyung yang kemudian kaget karena Ji Eun bisa menembus mobil tersebut.
“Kau?!? Kau pesulap ya? Ato jangan-jangan kau manusia jadi-jadian???” tanya Junhyung heran.
“Anio ... aku manusian biasa! Tapi sekarang raga dan jiwaku terpisah!” jelas Ji Eun.
“Terus kalau kau arwah apa urusannya denganku? Dan kenapa juga aku bisa melihatmu?”
“Mullayo, aku hanya ... aku hanya tidak tau saja harus berbuat apa karena semua orang yang aku kenal tidak bisa melihatku,” jelas Ji Eun. Junhyung kali ini benar-benar masuk ke dalam mobil, menutup mobilnya keras dan pergi.
Di perjalanan, pikiran Junhyung terus fokus ke yeoja tersebut. Arwah? Hanya ia yang bisa melihatnya?? Ah .. suatu hal yang tidak masuk akal tapi ia rasakan sendiri? Ia kemudian membalikkan setir mobilnya dan kembali ke tempat parkir. Dengan tergesa-gesa ia turun dari mobil dan mencarinya.
“Aish ... kemana lagi bocah itu?!?” gerutu Junhyung, tiba-tiba ia mendengar suara yeoja yang sedang menggerutu dari samping sebuah mobil yang sedang parkir.
“Mau apa kau balik lagi?” tanya Ji Eun kesal.
“Huh ... jangan ge er ya, aku kesini mau mencari dompetku yang sepertinya jatuh tadi. Tapi sudah ketemu kok. Oia kau sedang apa disitu?” tanya Junhyung basa-basi.
“Bukan urusanmu!” kata Ji Eun.
“Aih ni yeoja. Kajja!” Junhyung mendekati Ji Eun yang duduk di bawah kemudian menyodorkan tangannya. Ji Eun terdiam.
“Waeyo?” tanya Junhyung bingung. Pelan-pelan Ji Eun berusaha memegang tangan Junhyung, ia pikir ia tak bisa memegang tangan namja yang satu ini, ternyata bisa.
“Kau ikut aku saja, aku tidak tega. Tapi ingat ya! Hanya untuk malam ini saja,” jelas Junhyung.

“Kau tinggal sendiri?” tanya Ji Eun ketika masuk ke apartemen Junhyung.
“Ani .. dengan noonaku, tapi ia kerja lembur hari ini, karena ia dokter makanya ia sangat sibuk,” jelas Junhyung.
“Ini noonamu?” kata Ji Eun sambil melihat foto Boa yang tergeletak di meja.
“Ne .. namanya boa ..”
“Yeoppota ... “ puji Ji Eun.
“Oia, aku belum tau namamu, aku Junhyung,” kata Junhyung mengawali perkenalan.
“Ji Eun imnida ...”
Junhyung mengambil sebotol air dari dalam kulkas.
“Roh tidak bisa minum kan?” tanya Junhyung, Ji Eun mengangguk.
“Kau belum menceritakan kenapa kau bisa begini ...” ucap Junhyung. Setelah mendengar penjelasan Ji Eun, Junhyung berdiri dari duduknya.
“Kau mau kemana?” Tanya Ji Eun.
“Aku ngantuk, mau tidur,” ucap Junhyung mengacuhkan Ji Eun.
“Huh … emang ga enak kaya gini. Makan ga bisa, minum ga bisa, tidurpun kaya nya ga bisa. Mana pake seragam gini lagi,” gerutu Ji Eun.

Di kamar, Junhyung terus mengubah posisi ridurnya. Ia merasa tidak nyaman karena terus memikirkan Ji Eun.
“Aigooo ... ga bisa tidur gara-gara mikirin dia mulu. Kebiasaan, terlalu baik sih jadi gini nih,” gerutu Junhyung.

Paginya, Junhyung bangun lebih awal karena hari ibi ada jam kuliah.
“Hoam .. “ Junhyung langsung mencari Ji Eun yang tidak ada di ruang TV. Kemudian ia melihat Ji Eun sedang berdiri termangu di balkon, melihat suasana jalanan kota Seoul yang sudah ramai saat itu. Ji Eun yang merasakan ada seseorang yang memperhatikannya langsung melihat balik ke arah Junhyung.
“Oppa annyeong ..” sapa Ji Eun. Junhyung mendekati Ji Eun dan berdiri di sampingnya, ikut memandang ke arah jalanan.
“Sopan banget manggilnya … “ ucap Junhyung.
“Junhyung~a, mau makan?” Tanya Ji Eun mengede-ngede.
“Aish .. kau kurang ajar sekali ..”
“Serba salah kan. Udah ah jangan bawel, kalau mau makan biar aku ajarin masak yang enak! Hehehe,” ungkap Ji Eun.
“Gimana caranya???”
Junhyung mengurak-arik kulkas dan membawa beberapa makanan yang dapat di masak, lalu ia menaruhnya di atas meja makan di dapur.
“Cuma ada sosis, mentega, udang, telor, bawang, mmm .. apa ya?!?” pikir Junhyung.
“Yah kalo Cuma ini cih ya paling bikin nasi goreng aja yang gampang ..” kata Ji Eun bersemangat. Ji Eun duduk di atas kursi yang ada di dapur sambil berpangku tangan melihat Junhyung yang mengikuti semua perintahnya.
“Aigo ... garamnya yang ini atau yang ini ya?!?” kata Junhyung sambil memegang dua buah tempat garam dan gula yang sama-sama terlihat mirip.
“Mana aku liat, cobain aja deh,” suruh Ji Eun.
“Serius nih? Kalo garam kan asin??”
“Siapa bilang garem manis? Ya daripada nasi gorengnya manis hayooo??” ujar Ji Eun.
Junhyung mengambil sedikit lalu mencoba salah satunya yang ternyata garam. Ji Eun tertawa melihat expresi wajah Junhyung ketika merasakan asinnya garam tersebut.
“DEG!” jantung junhyung berdegup lebih kencang melihat Ji Eun yang tertawa lepas. Ia tidak sengaja menjatuhkan wadah garam, sontak Ji Eun berhenti tertawa. Mereka sama-sama refleks, jongkok untuk membereskannya. Tapi karena tidak hati-hati, kepal Junhyung dan Ji Eun berbenturan.
“Aduh …” teriak kedua nya bersama-sama sambil mengelus kepala masing-masing.
“udah aku aja, lagian kamu ga mungkin bisa megang ..” kata Junhyung.

Junhyung sudah bersiap-siap untuk ke kampus.
“Oppa mau kuliah ya? Boleh ikut ga?” pinta Ji Eun.
“Hei tidak bisaa, lagian aku bilang kemaren, kau mengikutiku hanya untuk semalam saja. Jadi hari ini kau boleh pergi,” ucap Junhyung.
“Ne arraseo, tapi ... aku mau ikut oppa sampai di kampus aja, aku mau liat mahasiswa arsitektur yang lagi belajar .. ayo dong oppa ...” bujuk Ji Eun.
“Loh ko kamu tau aku ngambil jurusan arsitektur??” tanya Junhyung.
“Mworago? Aku gatau, aku memang menyukai arsitektur, jadi aku mau liat aj ko ...”
“Oh, oke ...”
“Loh oppa, itu gelang darimana?” tanya Ji Eun penasaran.
“Ini dari Boa noona, katanya dapet beli. Dia bilang, ini gelang keberuntungan!” jelas Junhyung.
“Itu kan gelang yang pernah appa kasih buat aku makanya aku bisa liat roh appa waktu baru meninggal?? Tapi gelang itu aku jual buat beli buku design,” pikir Ji Eun dalam hari.

Setelah jam kuliah selesai …
“Aku sudah ikuti semua keinginanmu kan? Jadi sekarang jangan ikuti aku lagi! Arraseo?” kata Junhyung, Ji Eun mengangguk.
“Gomapseumnida oppa …”

Junhyung pulang ke rumah. Ternyata Boa juga sudah datang. Ia sedang makan di meja makan.
“Loh noona uda pulang?” tanya Junhyung.
“Noona Cuma mau ngambil baju. Eh noona laper jadi makan dulu aja. Kebetulan ada nasi goreng. Tumben kamu masak rasanya pas kaya gini ...” ujar Boa.
“Eh .. oh hehe .. ia dong. Oia, noona tau pasien yang namanya Song Ji Eun?” tanya Junhyung.
“Mmm Ji Eun .. oh anak SMA korban tabrak lari yang koma itu? Ia tau, waeyo? Apa kau kenal dia?” tanya Boa heran.
“Oh ani .. kebetulan oppanya temen kampusku,” jawab Junhyung boong.
“Perasaan kemaren eommanya bilang kalau Ji Eun anak satu-satunya deh,” celetuk Boa.
“Huh? Jincha? Oh .. mungkin sepupunya .. ya sepupunya …” jawab Junhyung boong lagi.
“Oh”
“Oia, kalo ada perkembangan tentang kondisinya beri tau aku ya, bair aku bisa kabari sepupunya,” pinta Junhyung.
“Ya! Aku tak boleh setega itu padanya! Aku harus menjemputnya!” ucap Junhyung yang langsung pergi ke kampus.
Ketika melewati taman sebelah kampus, ia melihat Ji Eun sedang bermain-main dengan seekor kucing liar. Junhyung turun dari mobil. Ia mendekati Ji Eun yang terlihat senang walopun hanya di temani seekor kucing.
“Hhhmm…” junhyung berpura-pura batuk.
“Apa sih ganggu aja,” ucap Ji Eun tanpa menatap kea rah Junhyung. Junhyung yang kesal langsung menarik tangan Ji Eun. Ji Eun terdiam karena kaget. Junhyung langsung melepaskannya kembali setelah itu. Suasana tiba-tiba menjadi canggung satu sama lain.
“Kau … Gwenchana?” Tanya junhyung khawatir.
“Ne, waeyo oppa??”
“Mmm .. anio, gwenchanayo,” jawab Junhyung gugup dan berjalan pelan meninggalkan Ji Eun. Tiba-tiba Ji Eun berlari dan memeluknya dari belakang.
“Oppa kajjima! Jangan tinggalkan aku, aku sebenarnya takut disini, sungguh ...” kata Ji Eun menangis tanpa airmata. Junhyung kemudian berbalik arah dan memeluk Ji Eun erat.

Junhyung memperhatikan sketsanya dalam-dalam, berpikir sesuatu.
“Aish … sketsanya sepertinya kurang waah, apa yang harus di tambahin ya?!?” Tanya Junyung.
“Mana liat? Wah oppa .. ini ruangan kecil yang masih kosong perlu ditambah sesuatu .. nih,” Ji Eun memegang tangan Junhyung untuk memperbaiki sketsanya, karena ia tidka bisa memegang pensil secara langsung. Mereka sama-sama tersenyum ketika melihat hasil sketsanya. Ketika mata mereka saling menatap, mereka langsung menghindar karena malu.

Sepulang kuliah, Junhyung menyempatkan diri untuk berhenti di sebuah pet shop. Ia berencana untuk membeli seekor kucing Persia untuk Ji Eun.
Ketika Junhyung bergegas pulang, Boa mengirimkannya sebuah pesan. Boa meminta Junhyung untuk mengambil sebuah baju di butik langganan Boa. Ia melihat sejenak koleksi-koleksi di butik tersebut sambiol menunggu seorang pelayan yang sedang menyiapkan pesanannya. Matanya tertuju pada sebuah menekin yang memakai sebuah gaun putih pendek yang sangat cantik. Tiba-tiba ia terngiang-ngiang, membayangkan kalau Ji Eun sedang memakai gaun itu, pasti ia terlihat sangat cantik.
“Ah .. aku ini berpikiran apa sih!” ucap Junhyung dalam hati.

“Aku pu …, Soyoong?” Junhyung kaget melihat Sooyoung yang sedang duduk di ruang tamunya. Ji eun ternyata duduk di sofa sebelahnya.
“Jagiya, kau kenapa tidak memberikan kabar selama 1 minggu ini .. aku kan sakit, masa kau tidak menjengukku?” gerutu Sooyoung sambil memeluk Junhyung, tapi Junhyung langsung melepaskan pelukan itu.
“Aku .. aku sibuk,” kata Junhyung sambil melihat kea rah Ji Eun.
“Ya! Kucing?!?! Aish .. kau ini mengapa memelihara hewan peliharaan seperti itu, aku kan paling benci kucing!” kata Sooyoung.
“Sooyoung~a, aku capek, jadi kau pulang saja ya! Yang penting sekarang kau sudah sembuh …” pinta Junhyung sambil menuntun Sooyoung keluar.
“Ta.. tapi aku kan masih kangen, ya! Junhyung~a” kata Sooyoung yang sudah ada di luar.
Junhyung menarik tangan Ji Eun yang mencoba pergi.
“Kenapa oppa selalu menarik tanganku seperti ini sih?” teriak Ji Eun.
“Kau mau kemana?”
“Aku mau balik ..” ucap Ji Eun.
“Kau kenapa?”
“Oppa tuh terlalu baik sama aku. Trus juga, aku tuh yeoja, mana ada sih yeoja yang mau kalo namja chingnya ngediemin dia pas dia sakit? Mana namja nya itu nyimpen yeoja di apartemennya sendiri lagi ...” Jieun langsung berlari pergi. Bunyi bel menghalangi Junhyung untuk mengejar Ji Eun.

“Aigo .. aku ini kenapa? Terserah dia dong mau ngapain aja, lagian dia itu bukan siapa-siapanya aku,” gerutu Ji Eun dalam hati.

“Junhyung~a, tadi di dalam ada siapa sih?? Kok kaya ada orang ribut-ribut? Ada sooyoung?” Tanya yoseob penasaran.
“Ga ada ko, tadi tuh Cuma suara tv, ia tv, ngomong-ngomong kau mau apa?” tanya Junhyung.
“Aku mau maen aja. Tadi abis dari mall sebelah, sekalian lewat,” kata yeoseob yang langsung duduk tanpa dipersilahkan.
“Yoseob~a, aku mau bertanya? Tapi pertanyaannya benar-benar sangat aneh, kau jangan tertawa mendengarnya ya!” kata junhyung.
“Pertanyaan apa memang?” tanya yoseob.
“Apa yang akan terjadi pada orang yang sedang koma? Bukankah orang-orang bilang kalau orang sedang koma itu berati arwahnya sedang dipisahkan dengan raganya?”
“Mmm .. menurut artikel yang pernah aku baca serta menurut gosip-gosip yang beredar, ceilaah ..., itu benar. Dan ketika raganya terpisah ada 2 kemungkinan yang selanjutnya akan terjadi, yang pertama keduanya akan mati, atau yang kedua, raga dan tubuhnya akan bersatu lagi,” jelas yoseob sok serius.
“Lalu dengan peristiwa yang dialami arwah itu? Apa ia masih ingat dengan kejadian yang dialaminya?” tanya junhyung penasaran.
“Kata orang sih dia bakal lupa ..”
“Mwo??” junhyung langsung berdiri dari duduknya kemudian bergegas pergi ke RS.
“Kau mau kemana?” Tanya yoseob heran melihat kelakuan junhyung yang aneh.
“Aku mau ke RS, kau pulang saja, ada hal yang musti aku selesaikan ..”
Di perjalanan, Junhyung mendapat kabar dari Boa bahwa Ji Eun dalam keadaan kritis. Junhyung masuk ke RS dengan sedikit berlari. Di depan ruang ICU ia melihat tubuh Ji Eun yang sedang mendapat penanganan dari dokter dan perawat. Eomma Ji Eun yang belum datang membuat keadaan masih sepi. Ia melihat kea rah kanan, ternyata Ji Eun berdiri di sampingnya, melirik kea rah tubuhnya sendiri.
“Ji Eun~a ..” panggil Junhyung pelan.
“Entah apa yang terjadi setelah ini. Gomapta atas semua yang telah kau lakukan oppa,” jelas Ji Eun.
Junhyung meneteskan air mata melihat tubuh Ji Eun yang sedang di setrum dengan alat pacu jantung. Arwah Ji eun perlahan menghilang entah kemana. Isak tangis eomma terdengar setelah itu. Tak lama kemudian, detak jantung Ji Eun kembali normal.

Eomma dan Jin Ki berdiri di samping tempat Ji Eun berbaring. Menunggu saat saat dimana Ji Eun akan sadarkan diri. Tak beberapa lama, Ji Eun membuka matanya perlahan.
“Eomma .. Jin Ki~a,” panggil Ji Eun dengan suara lirih. Eomma langsung memeluknya erat.

Jin Ki menjaga Ji Eun untuk menggantikan eomma sementara.
“Jin Ki~a, gomawoyo ..” kata Ji Eun.
“Untuk apa?”
“Untuk waktunya menjaga aku dan eomma, dan juga atas bantuannya membayar biaya rumah sakit ...” jelas Ji Eun.
“Gwenchana, bentar lagi kita kan akan menjadi keluarga besar. Aku tidak menyangka bahwa Appa telah mengenal Ahjumma cukup lama, dan keadaan mereka dapat menyatukan mereka dengan mempertemukan kita ...” ucap Jin Ki.
“Kau sekarang harus mencintaiku tidak lebih dari seorang kakak yah ..” kata Ji Eun sambil tersenyum.
“Ne, arraseo. Lagian aku udah punya inceran baru, teman sekelasku, yang punya senyuman yang lebih manis dari noona hahaha,” ungkap Jin Ki.
Tok Tok tok ..
Seorang perawat membawakan seikat bunya dengan sekotak kado yang dilubangi diatasnya.
“Apa itu sus?” Tanya Jin Ki.
“Ini ada titipan dari seorang namja untuk Song Ji Eun,” Jin Ki menerimanya, kemudian memberikan bunga itu pada Ji Eun.
“Coba buka,” pinta Ji Eun penasaran.
Jin Ki membuka bungkusan yang lumayan besar tersebut. Ternyata seekor kucing persia.
“Kucing? Rasa-rasanya ketika aku tertidur 3 hari aku bermimpi melihat kucing seperti ini, terus .. apa lagi ya? Rasa-rasanya seperti kenyataan padahal Cuma mimpi,” jelas Ji Eun.

1 bulan kemudian ....
Ji Eun pergi ke University of Seoul untuk melihat hasil pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Ji Eun pergi sendiri kali ini. Di perjalanan Jin Ki menelpon.
“Noona .. ko berangkat sendiri?” tanya Jin Ki khawatir.
“Ah kau ini kaya noona masih kecil saja, noona pasti bakal baik-baik aja ko ...” jelas Ji Eun.
“OK deh, hati-hati yaaa ...”
Ji Eun berjalan menggunakan tongkatnya. Ia berusaha masuk ke segerombolan orang yang melihat papan pengumuman. Berdesak-desakan. Tiba-tiba tongkat Ji Eun tersenggol seseorang sehingga ia jatuh dan telapak tangan kanannya terinjak-injak.
“Hei minggir-minggir .. “ teriak seorang namja yang membuat orang-orang menggeser posisinya. Junhyung mengangkat Ji Eun dan Yoseob memunguti tongkat Ji Eun yang terjatuh. Junhyung dan Ji Eun duduk di tempat yang teduh. Kemudian Junhyung meminta Yoseob untuk mengambil obat merah di klinik.
“Gwenchanayo?” Tanya Junhyung khawatir.
“Ye, nuguseyo?” Tanya Ji Eun balik.
“Junhyung imnida … apa kau mengenaliku ?” tanya junhyung penasaran dengan jawaban Ji Eun.
“Sepertinya .. tapi aku tak tau dimana. Apa kita pernah bertemu sebelumnya oppa?” tanya Ji Eun heran. Yoseob kemudian datang dan memberikan obat merah pada Junhyung, kemudian ia pergi lagi karena ada jam kuliah.
“Kau tidak kuliah?” tanya Ji Eun sambil merasakan perih ketika Junhyung mengobati tangannya.
“Jam kuliahku setengah jam lagi kok. Oia, kau tak usah melihat papan pengumuman, kau di terima di jurusan arsitek ko ..” jelas Junhyung.
“Jincha? Kyaaa!!” kata Ji Eun senang dan spontan memeluk Junhyung lalu melepaskannya lagi.
“Mi .. mianhae .. reflek! Aduh babo,” ucap Ji Eun.
“Oh ye .. gwenchana,” kata Junhyung yang tersenyum malu, ia merasakan detak jantungnya mulai berdetak lebih cepat lagi.

Junhyung menemukan kertas sketsa rumah yang pernah ia gambar dan Ji Eun perbaiki. Ia tiba-tiba berpikir apa-apa yang harus ia lakukan untuk membuat Ji Eun mengingatnya kembali.
“Ji Eun~a, kau yang memulainya tapi kenapa juga kau yang melupakannya ...” pikir Junhyung sambil memikirkan sebuah ide.

Hari ini hari pertama mahasiswa baru memasuki kampus. Merasakan hari-hari pertamanya. Karena ini masih permulaan, perkuliahan berjalan lebih cepat.
“Ji Eun~a!” panggil Junhyung.
“Wae?”
“Ada waktu ga? Bentar aja ...!”
“Ne, wae?”
“Kajja!” Junhyung langsung menarik tangan Ji Eun.
“DEG!” kini giliran jantung Ji Eun yang berdegup lebih cepat. Ia merasakan kalau ia pernah merasakan hal yang sama dulu.

Junhyung menggandeng tangan Ji Eun masuk ke bioskop. Hanya ada mereka berdua disana. Mereka duduk di tengah-tengah. Lampu kemudian dimatikan, sebuah film kartun pun dimulai.
“Loh ni bioskop masih sepi napa film nya udah di puter?!?” tanya Ji Eun heran.
“Sssstttt!” pinta Junhyung untuk tidak berbicara.

- Backsound Kartun Hitam Putih Bisu -
(Junhyung’s POV)
Kartun itu tanpa suara, tanpa warna, tapi kaya makna. Menceritakan awal mula, ketika kita yang sama sekali tak mengenal satu sama lain saat itu, memulai 3 hari ke depan dengan tak diduga-duga. Ketika kau menggerutu bahwa berpisah dengan raga itu bukan suatu hal yang mudah. Ketika kau mengajariku menggunakan apa yang ada dan menghasilkan suatu inovasi yang sederhana tapi pas dengan apa yang seharusnya. Mencoba rasa asinnnya garam dan pedasnya benturan kepala, dan betapa berharganya sebuah sketsa dengan sebuah pikiran yang matang. Keluguanmu dengan apa yang ada di sekitarmu membuatku mengerti apa arti hidup ini tanpa seseorang yang menemani. Sampai ketika semua yang kau awali itu hilang, dan bayanganmu pun hilang dari pandangan.
Ketika lampu dinyalakan, Junhyung melihat air mata itu jatuh membasahi pipi Ji Eun.
“Ji Eun~a .. mi .. mianhae,” ucap Junhyung merasa bersalah.
“Oppa ... “ Ji Eun langsung memegang Junhyung erat tanpa menghentikan tangisannya.
“SARANGHAMNIDA” bisik Junhyung.
THE END



1 komentar:

  1. Chingu, boleh gak FF-nya aku post di blog aku? Aku gak akan ngerubah ceritanya. Aku pingin banget ngepost di blog aku soalnya bagus banget ceritanya. Aku bakal cantumin nama blog ini di post-nya nanti. Boleh gak?????
    blog aku linknya http://koreanfanfictionindo.wordpress.com

    BalasHapus